brand_logo
Ibnu Abbas: Sang Lautan Ilmu di Zaman Rasulullah ﷺ
BeramalBersama
31-Oct-2025
Khasanah Islam

Ibnu Abbas: Sang Lautan Ilmu di Zaman Rasulullah ﷺ

Di antara banyak nama besar dalam sejarah Islam, ada satu yang selalu diingat karena kedalaman ilmunya dan kejernihan hatinya. Ia adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah ﷺ, yang dikenal sebagai Habrul Ummah (Lautan Ilmu Umat) dan Turjumanul Qur’an (Penafsir Al-Qur’an).

Namanya sering disebut dengan penuh hormat oleh para ulama setelahnya. Namun, di balik julukan besar itu, ada kisah perjalanan panjang dari seorang anak muda yang tumbuh di bawah naungan wahyu, dengan semangat belajar yang tak pernah padam.

Lahir di Tengah Keluarga Bani Hasyim

Ibnu Abbas lahir di Makkah, tiga tahun sebelum hijrahnya Rasulullah ﷺ ke Madinah. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang mulia yaitu Bani Hasyim, keluarga tempat Rasulullah ﷺ berasal. Ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, adalah paman Nabi; sementara ibunya, Lubabah binti al-Harits, dikenal sebagai sahabat dekat dari Sayyidah Khadijah.

Sejak kecil, Ibnu Abbas telah berada dalam lingkungan yang akrab dengan Islam. Ia tumbuh di tengah masa-masa penuh perjuangan, ketika umat Islam masih menghadapi tekanan dari kaum Quraisy. Namun justru dari situ, semangat imannya tumbuh kuat. Ibnu Abbas masih sangat kecil ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Baru setelah Fathu Makkah (penaklukan Makkah pada tahun ke-8 Hijriyah), ia benar-benar sering berinteraksi langsung dengan Nabi. Dari situlah awal kisah besar hidupnya dimulai.

Doa Rasulullah yang Mengubah Segalanya

Suatu hari, ketika Rasulullah ﷺ sedang berwudhu, Ibnu Abbas kecil bergegas menyiapkan air untuk beliau. Rasulullah tersenyum melihat kesungguhan bocah itu, lalu memeluknya dengan penuh kasih sayang. Dalam pelukan itulah, Rasulullah ﷺ memanjatkan doa yang kelak mengubah seluruh hidupnya:

“Ya Allah, berilah ia pemahaman yang mendalam tentang agama dan ajarkan kepadanya tafsir Al-Qur’an.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Doa itu bukan sekadar kalimat, tapi warisan cahaya ilmu. Dari hari itu, Ibnu Abbas tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa, daya ingat yang kuat, dan pemahaman yang tajam. Seolah doa Rasulullah menjadi benih yang tumbuh di hatinya menjadi lautan ilmu tak bertepi.

Menjadi Murid yang Tak Pernah Lelah Mencari Ilmu

Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, banyak sahabat sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi Ibnu Abbas muda justru bertekad menekuni ilmu. Ia tahu, warisan terbesar dari Nabi adalah ilmu dan hikmah. Ia sering menunggu para sahabat senior di depan rumah mereka hanya untuk mendengar satu hadis atau penjelasan tentang ayat. Pernah suatu ketika, ia menunggu Zaid bin Tsabit salah satu penulis wahyu di depan pintu rumahnya hingga tertidur karena menunggu terlalu lama.

Ketika Zaid keluar dan melihatnya, ia berkata,

“Wahai sepupu Rasulullah, mengapa engkau tidak memanggilku agar aku yang datang kepadamu?”

Ibnu Abbas menjawab rendah hati, “Ilmu harus didatangi, bukan didatangkan.”

Begitulah kesungguhannya. Tak peduli panasnya matahari Madinah, atau panjangnya jalan yang harus ditempuh, semua ia lakukan demi satu tujuan: memahami agama ini sebaik-baiknya.

Bersama Umar bin Khattab: Pengakuan dari Generasi Tua

Ketika Khalifah Umar bin Khattab memimpin, ia sering mengumpulkan para sahabat besar untuk berdiskusi tentang urusan umat. Dalam majelis itu, Umar kerap mengundang Ibnu Abbas padahal usianya saat itu baru sekitar dua puluh tahun. Sebagian sahabat senior sempat heran, “Mengapa engkau mengundang anak muda ini ke majelis kita?”

Umar tersenyum, lalu menguji mereka. Ia bertanya, “Apa tafsir dari firman Allah: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (QS. An-Nashr: 1)?”

Para sahabat menjawab bahwa ayat itu berbicara tentang kemenangan Islam. Namun Ibnu Abbas berkata dengan lembut, “Ayat itu bukan sekadar kabar gembira, tetapi tanda bahwa tugas Rasulullah telah selesai, dan saatnya beliau bersiap untuk kembali kepada Tuhannya.”

Umar menatapnya dengan kagum dan berkata, “Aku tidak tahu tentang ayat ini kecuali sebagaimana yang engkau katakan.” Sejak saat itu, semua tahu meski muda, Ibnu Abbas memiliki kedalaman ilmu yang menandingi para seniornya.

Lautan Tafsir dan Hikmah

Ibnu Abbas dikenal sebagai penafsir Al-Qur’an terbesar di kalangan sahabat. Setiap ayat baginya bukan hanya teks, tetapi cahaya yang perlu direnungi dari berbagai sisi baik dari bahasa, sebab turunnya, dan makna ruhaniahnya. Dalam banyak kitab tafsir klasik seperti Tafsir Ath-Thabari, penjelasan Ibnu Abbas menjadi rujukan utama. Beliau memahami konteks sejarah turunnya wahyu, memahami makna di balik kata, dan mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata.

Majelisnya di Madinah selalu dipenuhi murid dari berbagai negeri. Diriwayatkan, setiap hari beliau mengajar dalam beberapa sesi: tafsir, hadis, fiqih, sejarah, hingga syair Arab. Ilmunya mengalir bagaikan samudra yang luas, dalam, dan tak pernah kering.

Akhlak dan Ketawadhuan

Meski dikenal sebagai orang yang sangat berilmu, Ibnu Abbas tidak pernah sombong. Ia sering menangis ketika membaca ayat Al-Qur’an yang menyentuh hatinya, dan selalu rendah hati terhadap siapa pun yang datang menimba ilmu.

Ketika seseorang memujinya sebagai lautan ilmu, beliau menjawab, “Aku hanyalah hamba Allah yang diberi sedikit pemahaman, dan aku takut jika ilmunya tidak bermanfaat bagiku di akhirat.” Kerendahan hati itulah yang membuat ilmunya terus hidup dan memberi manfaat lintas zaman.

Akhir Hayat Sang Ulama Muda

Ibnu Abbas menghabiskan masa tuanya di Thaif. Di sanalah ia wafat sekitar tahun 68 Hijriyah, dalam usia sekitar 70 tahun. Abdullah bin Umar, sahabat Nabi lainnya menyolatkannya dan berkata, “Hari ini, telah wafat seorang alim umat ini.” Namun meski jasadnya tiada, warisan ilmunya tetap hidup. Setiap kali kita membaca tafsir atau mempelajari makna Al-Qur’an, nama Ibnu Abbas selalu disebut dengan penuh hormat.

Kisah Ibnu Abbas adalah cermin bagi kita semua: bahwa ilmu dan amal tak dapat dipisahkan. Semakin dalam seseorang mengenal Tuhannya, semakin lembut pula hatinya terhadap sesama. Mari kita meneladani semangat beliau, menjadikan ilmu sebagai jalan pengabdian, dan menjadikan amal sebagai bukti cinta kepada Allah.
Karena ilmu yang bermanfaat adalah amal yang tak pernah berhenti.

Bagikan Artikel:

beranda beranda Beranda chat chat Infaq+ donasi donasi Sedekah kontak kontak Live Salur donasi rutin donasi rutin Akun